Kamu mungkin membayangkan dirimu bertengger pada suatu posisi bagus di suatu perusahaan. Mobilitasmu luar biasa, daya jelajahmu ke segala penjuru nusantara, bahkan ke mancanegara, dengan pesawat terbang tentunya. Fasilitasmu oke: mobil mulus, rumah bagus. Kamu pun membayangkan memiliki sebuah keluarga bahagia di mana kamu menjadi intinya.
Atau kamu kini tengah mengalaminya. Kamu telah bekerja dan Allah memberimu rezeki yang luas. Tenagamu masih kuat. Badanmu bugar, naik gunung dan bertulang itu biasa. Kamu sudah tamasya ke mana-mana, dengan mobil, kapal, dan pesawat terbang.
Tapi, satu hal lupa kamu niatkan: naik haji.
Naik haji yang bagi banyak orang bisa menjadi sebuah cita-cita atau impian yang besar, bagi orang tertentu—yang sebenarnya justru mampu dan sudah wajib melakukannya—malah kerap tidak terangankan.
Maka, ayo kita turun sebentar. Ke pojok alun-alun itu. Kita tanya bapak dan ibu penjual opor ayam itu, apa yang membuat mereka bertahan berjualan di sana, sementara putra-putri mereka telah lulus kuliah, jadi dokter, dan sanggup membiayai hari tua mereka? Ah, mereka menjawab dengan senyum,”Lho, Nak, apa kami tak boleh naik haji dengan lontong dan opor ayam ini?”
Haji memang harus lahir dari niat. Pak Jan dan Bu Jan, seorang penjual mi ayam, berjuang puluhan tahun sebelum akhirnya mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk keberangkatan haji mereka Desember ini.
Dia tahun 70-an, Pak Jan muda pernah menjadi buruh bangunan, penjual es, tukang air, dan terakhir menjadi tukang mi ayam di Jakarta. Dan awal tahun delapan puluh, ia mendorong gerobak berkeliling kota Pekalongan, memperkenalkan mi ayam. Perlu kegigihan dan waktu tahunan untuk membuat dagangannya itu sejajar tenarnya dengan bakso yang telah lebih dulu menasional.
Dan soal naik haji, mungkin benar kata KH Cholil Bisri (alm) pada suatu kesempatan, “Keinginan berhaji kali pertama itu ibarat perjaka yang hendak kawin. Penuh perhitungan." Jadi, dengan uang tabungannya, Pak Jan dan istrinya, bisa saja tak perlu bekerja terlalu keras lagi. Mereka bisa berlibur, membeli tanah, atau rumah. Bisa juga mereka depositokan saja uang itu untuk jaminan hari tua. Tapi, bayangkan, perjalanan terjauh kakek dan nenek dari enam cucu ini adalah Pekalongan-Jakarta, sehingga perjalanan mereka ke Jeddah nanti akan menjadi perjalanan terjauh mereka selama ini, sekaligus perjalanan pertama mereka dengan pesawat terbang.
Nah, tahun depan, jika kamu berkunjung ke kota Pekalongan, mampirlah ke pojok kanan-selatan alun-alun. Insya Allah, kamu masih akan menjumpai Pak dan Bu Jan di sana. Dan sesuai kebiasaan setempat, mungkin kamu boleh menyapa, “Pak Haji, mi satu porsi, ya.” [agusbudiman]
0 komentar:
Post a Comment